Main Game Pokemon dari Kecil Bisa Bikin Cerdas? Ini Faktanya!
Pokemon adalah salah satu game mendunia dari Jepang. Terkenal dengan karakter-karakter ikoniknya misalnya Pikachu dan Charizard, ternyata terdapat informasi baru yg mengejutkan tentangnya.
Belakangan, sekelompok ilmuwan mendapati kabar tentang pemain Pokemon yg memiliki otak tidak selaras, berkaitan menggunakan kegiatan saraf waktu sebuah pengujian dilakukan.
Kalau engkau pemain game yg memahami banget soal Pokemon, rangkuman berikut bakal menarik banget buat kamu simak, geng.
DAFTAR ISI
- Fakta Main Game Pokemon Bikin Otak Berbeda
- Berkaitan menggunakan Penemuan Saraf Baru
- Hasil Pengujian Oleh Ilmuwan ke Pemain Pokemon
- Apa Cuma Pokemon?
- Potensi Game Sebagai Media Belajar
Fakta Main Game Pokemon Bikin Otak Berbeda
Jika mendengar nama Pikachu atau Jigglypuff bikin kamu membayangkan karakter kartun berwarna kuning dan merah muda, maka telah niscaya kamu familiar dengan karakter lain pada Pokemon.
Pada Mei 2019, sekelompok ilmuwan melakukan pengujian ke sekelompok orang yg pernah memainkan Pokemon pada masa kecilnya.
Memperlihatkan 150 gambar karakter Pokemon, pengujian ini menyimpulkan kegiatan saraf yang tinggi menurut orang yg tidak kenal Pokemon sama sekali.
Bagian otak menggunakan kegiatan saraf yang tinggi ini adalah occipitotemporal sulcus, yg menyala saat subjek diperlihatkan ke gambar karakter Pokemon.
Alasannya, desain karakter Pokemon bukan sesuatu yg natural (meski terinspirasi menurut fauna & elemen alam), menjadikannya subjek paripurna buat fokus uji coba.
Berkaitan dengan Penemuan Saraf Baru
Sumber foto: Sciencemag
Kembali ke 2018, publikasi baru di Sciencemag menyatakan bahwa ilmuwan menemukan adanya saraf baru di otak.
Saraf ini diberi nama Rosehip Neuron yg berlokasi di lapisan korteks bagian atas, yang pula adalah tempat berdasarkan banyak jenis neuron lain.
Rosehip Neuron ini termasuk ke gerombolan saraf jenis inhibitor yg memiliki tugas menjadi pengatur lalu lintas berita pada saraf sekelilingnya.
Hasil Pengujian Oleh Ilmuwan ke Pemain Pokemon
Seperti yg dijelaskan tersebut, pengujian menggunakan 150 gambar karakter Pokemon ini berujung ke kesimpulan kegiatan otak yg tidak selaras.
Berkaitan menggunakan penemuan Rosehip Neuron tadi, hubungan antara karakter Pokemon dan saraf inhibitor ini sebenarnya bukan hal baru.
Singkatnya, otak mampu mengenali ciri spesifik tentang sebuah objek visual yg tampak menarik dan spesial .
Pengujian ini pun nir sembarang menentukan subjek, melainkan menyeleksi 150 orang yg pernah intens memainkan Pokemon sewaktu kanak-kanak.
Ditambah lagi, berita bahwa game Pokemon sempat dirilis pada platform GameBoy dengan tampilan hitam putih memberi konklusi yang relatif menarik.
Ketika otak sedang dalam masa pertumbuhan, masukan visual berupa karakter Pokemon yang spesial ini membuat otak sanggup bikin area spesifik untuk ingatan di masa mini .
Apa Cuma Pokemon?
Kalau engkau bukan pemain Pokemon ketika kecil, bukan berarti otak engkau nggak unik.
Game Pokemon pada percobaan tadi hanya sebuah subjek yang sesungguhnya sanggup digantikan dengan game lain, geng.
Anggaplah engkau getol main game Crash Team Racing (CTR) atau Super Mario Bros.; sewaktu kanak-kanak, bagian otak yang ditinggali Rosehip Neuron ini bakal dipenuhi menggunakan memori yg berkaitan.
Artinya, otak engkau akan mengeluarkan respon serupa, di mana bagian occipitotemporal sulcus ini akan menyala ketika engkau melihat karakter Crash atau Mario.
Ini juga ada kaitannya dalam uji coba ilmuwan di 2005, yg menyimpulkan bahwa otak mampu memberi respon secara visual saat mendengar nama tokoh populer, misalnya Bill Clinton atau Halle Berry.
Potensi Game Sebagai Media Belajar
Berdasarkan temuan ini, mitos bahwa video game bisa menciptakan udik ternyata nggak sahih, lho.
Justru kebalikannya, temuan yg dirilis pada jurnal saintifik sang Jesse Gomez, Michael Barnett, & Kalanit Gill-Spector ini punya konklusi yang menarik buat ditelisik.
Mungkin, video game bisa membantu cara belajar kreatif yang bisa membantu para orang tua & pendidik.
Pemahaman tentang paham visual dan prakteknya pada global nyata masih terus dikembangkan.
Nah, bisa saja temuan ini jadi jalan buat penghasil video game edukasi makin gencar membuat kreasi baru.
Akhir Kata
Ilmu pengetahuan terus berkembang. Temuan ini sanggup mengganti pandangan tentang video game secara umum.
Meski begitu, nggak dan-merta orang tua lantas nyuruh anaknya bermain Pokemon atau game lain selama berjam-jam, karena berisiko kecanduan game nanti.
Gimana pendapatmu? Sampaikan di kolom komentar di bawah, ya.
Comments
Post a Comment